KAJI TINDAK PENINGKATAN
PERAN KOPERASI DAN UKM SEBAGAI LEMBAGA
KEUANGAN ALTERNATIF
Oleh
Jannes
Situmorang
III. METODE KAJIAN
1. Lokasi dan Objek Kajian
Kajian dilaksanakan
di 9 (sembilan) propinsi yang meliputi : Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur,
Bali, NTB dan Sulawesi Selatan. Objek telitian adalah BMT dan yang akan diteliti
adalah aspek kelembagaan dan keuangan usaha
BMT itu sendiri.
2. Jenis Data
Jenis data
yang dibutuhkan adalah data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh dari lapangan yang berpedoman pada kuesioner yang sudah
dipersiapkan sebelumnya, sedangkan data sekunder diperoleh dari laporan instansi
terkait, baik di pusat maupun di daerah.
3. Penarikan Sampel
BMT, baik yang
berbentuk KSM maupun koperasi di masing-masing
propinsi dijadikan sebagai sampel, dengan total
sampel 74 buah. Penarikan sampel
(sampling) dilakukan dengan
purposive atas BMT yang berada di lingkungan
lembaga-lembaga keagamaan.
4. Model Analisis.
Data yang sudah terkumpul dari lapangan
akan dianalisis dengan menggunakan analisa
deskriptif.
5. Organisasi Pelaksana dan Pembiayaan
Kajian ini ditangani satu tim yang terdiri
dari Koordinator, Peneliti, Asisten Peneliti
dan Staf Administrasi yang dibiayi dari
Anggaran Pembangunan Belanja Negara.
IV. HASIL KAJIAN
DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian
ini, yang akan dianalisis secara mendalam adalah
kinerja Lembaga Keuangan Alternatif dan Kesehatan Kelembagaan dan
Keuangannya.
1. Kinerja Lembaga
Keuangan Alternatif
Faktor-faktor yang dianalisis meliputi : 1). Pelayanan
mudah, murah dan cepat, 2). Pertumbuhan
asset BMT, 3). Kemampuan menyediakan pembiayaan, 4). Kebutuhan tambahan modal,
5). Mobilisasi tabungan, 6). kemampuan menghasilkan laba, 7). Sarana Usaha.
1). Pelayanan Mudah, Murah dan Cepat
Hasil penelitian lapang menunjukkan bahwa BMT menempuh cara-cara yang mudah dan
murah dalam memberikan pelayanan
kepada para nasabah / anggota.
2). Pertumbuhan Asset BMT
Dilihat dari sisi debet neraca BMT, assetnya terdiri dari aktiva lancer dan aktiva
tetap. Sementara dilihat dari sisi kredit pada neraca, asset BMT merupakan penjumlahan
simpanan suka rela dan jumlah modal yang dimiliki. Nilai asset dapat mencerminkan kekayaan dan kewajiban
BMT kepada para pemilik maupun pihak ketiga.
BMT yang assetnya mengalami pertumbuhan terus menerus berarti BMT itu selain tumbuh makin besar,
juga berarti semakin dipercayai baik oleh
pihak pemilik maupun pihak ketiga.
3). Kemampuan Menyediakan Pembiayaan
Nasabah usaha kecil yang dilayani BMT adalah
pedagang pasar, bakul sayur, tukang bakso, pedagang eceran, warung, pedagang keliling dan usaha mikro lainnya. Mereka
membutuhkan modal kerja dengan perputaran
harian, mingguan atau bulanan.
4). Kebutuhan Tambahan Modal
Pada umumnya tambahan bantuan modal digunakan untuk memperbesar usaha di sektor riil. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sebanyak 31% BMT membutuhkan tambahan modal sebesar kurang dari Rp.10juta sebanyak 19% BMT membutuhkan tambahan
modal sebesar Rp.10juta s/d Rp. 25juta sebanyak 22% BMT membutuhkan tambahan modal Rp.25juta
s/d Rp. 50juta dan sebanyak
28% BMT membutuhkan tambahan modal sebesar lebih dari Rp. 50juta.
5). Mobilisasi Tabungan
Agar masyarakat terdorong dan gemar menabung, sebaiknya
diberikan insentif dalam bentuk bagi hasil yang disampaikan melalui kegiatan
promosi, leaflet dan penyuluhan dengan
melibatkan tokoh masyarakat, pengurus majelis taklim. Nisbah bagi hasil yang diberikan kepada para penabung
bervariasi antar BMT. Tabungan yang jangka
waktunya lebih panjang mendapatkan nisbah bagi hasil lebih besar dibanding
yang jangka waktunya lebih
pendek.
6). Kemampuan Menghasilkan Laba
BMT sebagai lembaga keuangan alternatif dapat menghasilkan profit yang cukup besar.
7). Sarana Usaha
Data lapang menunjukkan bahwa sebagian besar BMT sampel
tidak memiliki tempat usaha berupa tanah
dan bangunan. Dalam menjalankan usahanya,
BMT umumnya masih mengontrak tempat, menumpang atau karena mendapat hibah.
2. KESEHATAN KELEMBAGAAN DAN KEUANGAN
Salah satu cara untuk
melihat keberhasilan lembaga keuangan alternatif adalah dengan melihat kinerja kesehatan
kelembagaan dan keuangan. Sebagai pedoman penilaian digunakan metode yang dipakai
PINBUK dalam menilai BMT. Fokus yang dinilai
adalah aspek jasadiah (yang terlihat), sedangkan aspek ruhiyah (yang tak tampak
dari permukaan) tidak dinilai.
Kesehatan Kelembagaan
Proses penilaian kelembagaan BMT dimulai dengan mengelompokka beberapa factor atau komponen dasar yang
diperkirakan sangat dominan mempengaruhi
kinerja kelembagaan BMT. Penilaian kesehatan kelembagaan BMT dapat diwakili
faktor-faktor berikut: (1). Peran serta masyarakat dalam pendirian BMT, (2). Tingkat kemandirian, (3). Keaktifan
pengurus BMT, dan (4). Kualitas pengelola.
(1). Peran
Serta Masyarakat Dalam Pendirian BMT
Proses pendirian
BMT sangat memperhatikan tidak saja aspek ekonomi tetapi yang lebih penting adalah
memperjuangkan nilai-nilai syariah yang diyakini para pendirinya
dapat menolong kaum dhuafa terutama yang lemah
ekonomi. Faktor kesediaan para pendiri memberikan modal awal sangat menentukan masa depan keberadaan BMT.
Peranan tokoh masyarakat sangat dominan
dalam pendirian BMT.
(2). Tingkat Kemandirian
Hasil pengamatan
lapang menunjukkan, semua BMT yang diteliti
dibentuk atas swadaya masyarakat, tokoh masyarakat, alim ulama, pengurus majelis taklim. Para pendiri
ini menyediakan modal seadanya, yakni berkisar antara kurang dari
Rp.2juta s/d lebih Rp.10juta.
(3). Likuiditas
BMT yang sehat dan
likuid adalah BMT yang mampu menjaga tersedianya dana kas dan bank dalam jumlah yang sangat kecil atau sangat besar.
(4). Rentabilitas
Rentabilitas
dapat diartikan sebagai kemampun BMT dalam menghasilkan laba/surplus sesuai dengan
nilai asset yang dimiliki. Laba adalah sesuatu yang sangat didambakan dunia usaha
termasuk BMT. Rumus untuk menentukan kesehatan
rentabilitas adalah sebagai berikut
(5). Efisiensi
Efisiensi dapat diartikan
sebagai kemampuan BMT mengendalikan biaya
operasional untuk menghasilkan pendapatan operasional tertentu.
0 komentar:
Posting Komentar